
“etembang pote mata lebi’ bagus pote tolang” Daripada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah…
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual etnik Madura. Budaya merupakan cara hidup tertentu yang dibentuk oleh nilai, tradisi, kepercayaan, objek material dan wilayah (Soekanto, 1983). Budaya adalah cara hidup yang berkembang yang dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke geneasi (Mulyana, 2006).
Budaya juga dapat berarti sebagai pola hidup yang menyeluruh, budaya bersifat komplek, abstrak, dan luas. Aspek dalam sebuah budaya turut menentukan perilaku yang komunikatif unsure sosio-budayanya itupun tersebar dan meliputi banyak kegiatan social manusia. Keteraturan dalam berbudaya antar manusia dalam suatu masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh proses komunikasi.
Budaya dan kebudayaan itu sendiri telah ada sejak manusia berfikir, berkreasi dan berkarya sekaligus menunjukan bagaimana pola berfikir dan interpretasi manusia terhadap lingkungannya. Dalam kebudayaannya, terdapat unsure dan nilai- nilai yang dianut masyarakat setempat dan hal itu memaksa manusia berperilaku sesuai budayanya (Kusumohamidjojo, 2010).
Setelah terbentuk sebuah budaya, budaya tersebut dianut oleh sekelompok orang tertentu yang diwariskan oleh keturunannya. Budaya yang diwariskan ini lambat laun akan menjadi sebuah tradisi. Tradisi merupakan bagian dari esensial kebutuhan manusia itu sendiri untuk mengkaji dirinya yang kemudian mengembangkannya. Tradisi dalam hal ini dapat diartikan dalam sebuah budaya yang secara khusus atau merupakan sebuah perlambangan dari budaya itu sendiri. Seperti contoh dalam penelitian ini dibahas mengenai masyarakat Madura yang masih menjunjung tinggi tradisi Remoh Blater dan Carok.
Carok, hampir seluruh masyarakat di luar Pulau Madura mengartikan tindakan criminal yang sudah menjadi tradisi ini dengan konotasi dan perspective yang negative. Fenomena carok sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan sengketa yang berbenturan dengan aturan hokum di Indonesia. Carok merupakan tindakan yang keji, dan bertentangan dengan ajaran agama. Jika dilihat secara historisnya, masyarakat Madura terkenal juga dengan kultur religious yang sangat taat dengan agama meskipun secara individual masyarakatnya masih banyak yang secara teguh memegang tradisi ini.
Kata ‘carok’ berasal dari bahasa Madura yang berarti ‘bertarung dengan kehormatan’(A.Latief, 2007). Bisaanya carok dilakukan karena merupakan jalan terakhir yang ditempuh dalam sebuah perselisihan oleh masyarakat Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok dilakukan sebagai tindakan untuk pemulihan harga diri ketika diinjak – injak oleh orang lain yang berhubungan dengan harta, tahta, tanah, maupun harkat martabat kehormatan sebuah keluarga. Perasaan bangga bagi kaum laki- laki yang sudah pernah melalukan carok demi mempertahankan harga diri mereka akhirnya mendaptkan pengakuan social di lingkungan atau wilayah tempat tinggalnya di Madura. Hingga tidak jarang bagi para kaum laki- laki yang pernah melakukan carok disebut oleh masyaraakat Madura dengan sebutan Blater.
Blater, adalah figur social yang dihasilkan melalui kondisi ekologis masyarakat Madura. Carok bukanlah satu satunya arena untuk mendapat pengakuan atau legitimasi menjadi seorang Blater. Seseorang yang memiliki status social sebagai seorang Blater, eksistensinya memiliki posisi social tertentu di lingkungan masyarakat Madura. Sosok inilah yang selalu dihormati dan disegani secara social di Madura (Rozaki,2004: 93).
Kaum Blater memiliki banyak media untuk menjalin komunikasi antar sesame Blater seperti karapan sapi, sabung ayam, maupun Remoh Blater. Remoh Blater disini merupakan sebuah ruang atau ajang untuk menaikan status social “ke-Blaterannya”. Di Madura tidak hanya terkenal sebagai ksatrianya saja, namun disisi lain bagi seorang Blater yang menikahi lebih dari satu wanita dimanfaatkan sebagai ajang eksistensi kejantanannya. Remoh Blater yang menjadi ajang untuk bertukar informasi bagi para “ksatria lokal” inilah yang paling berpengaruh terhadap pengakuan status social seorang Blater. Karena dalam ajang inilah bisaanya para Blater membicarakan masalah kriminalitas.
Tindak kriminalitas bagi kaum Blater merupakan sesuatu yang dianggap wajar dan sudah bisaa. Bagi seorang Blater yang daerah kekuasaannya minim dengan tindak kriminalitas, maka prestisnya dikalangan Blater lainnya justru meningkat. Hal ini disebabkan karena, persepsi di dunia Blater, jika semakin minim tindak kriminalitas di suatu wilayah Blater, maka Blater lain akan berpersepsi bahwa Blater tersebut sangat dihormati, disegani dan memiliki kewibawaan yang tinggi dimata warganya. Masuknya kultur budaya modernitas di Madura sedikit banyak akan berpengaruh pada budaya local yang selama ini masih sangat di junjung tinggi oleh masyarakat pribumi Madura. Tidak lain adalah kaum Blater dan berbagai budayanya. Namun, di Madura sosok Blater masih tetap memiliki tempat tersendiri dalam tatanan kehidupan masyarakat Madura.
Dalam konteks ini, perspective budaya menjadi bagian penting dalam melakukan penelitian mengenai eksistensi Blater dan berbagai budaya dan tradisinya di tanah Madura. Dimana telah diasumsikan oleh banyak masyarakat di Madura maupun diluar Madura bahwa semua tindak kriminalitas yang terjadi berhubungan dengan sosok pria yang menjadi seorang kesatria local yang mereka sebut dengan “Blater”. Seperti apa Blater dalam menjalankan tradisi remoh Blater yang sudah tersohor sebagai sarana berkumpulnya para kesatria local tersebut terjadi sehingga sampai saat ini sudah menjadi tradisi dikalangannya? Serta seperti apa para Blater dalam tradisi carok itu sendiri?
Madura yang terdiri memiliki 4 wilayah kabupaten, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Hampir tersebar di seluruh wilayah kabupaten di Madura tersebut masih mengenal istilah ksatria local atau Blater. Salah satunya adalah Kabupaten Bangkalan. Bangkalan yang sudah dikenal dengan wilayah yang masyarakatnya sudah bercampur dengan penduduk pendatang dari pulau jawa ini secara cultural masyarakat pribumi Bangkalan masih memegang teguh budaya yang diwariskan nenek moyangnya hingga saat ini. Diseganinya sosok seorang Blater, merupakan sebuah kekuatan dari eksistensi seorang Blater yang begitu besar dalam kehidupan masyarakat Bangkalan sehingga tradisi Carok dan Remoh Blater masih langgeng sampai saat ini.
Tulisan selengkapnya dapat dibaca disini
Leave a Reply